Tak Bisa Ditunda – Pendidikan di Indonesia bukan sekadar urusan membangun gedung atau menggaji guru. Ini soal masa depan bangsa. Tapi sayangnya, realita di lapangan sungguh menampar keras: ratusan siswa naik kelas tanpa bisa membaca, sekolah-sekolah kekurangan fasilitas, dan guru dibiarkan berjuang sendirian tanpa pelatihan yang layak.
Fenomena semacam ini bukan sekadar potret kegagalan institusi pendidikan, tapi juga cermin dari lemahnya komitmen negara terhadap salah satu pilar utama pembangunan manusia. Jika pendidikan tak segera di prioritaskan, kita sedang menyiapkan generasi yang tumbuh tanpa arah dan tanpa daya saing.
Kebijakan Setengah Hati: Anggaran Besar, Tapi Salah Sasaran
Pemerintah sering membanggakan alokasi dana pendidikan 20% dari APBN, tapi mari kita telaah lebih dalam: ke mana sebenarnya dana itu mengalir? Banyak anggaran justru habis untuk hal-hal administratif, pelatihan formalitas, dan proyek fisik yang tak berdampak langsung pada kualitas belajar siswa.
Sementara itu, masih banyak guru honorer yang hidup dengan gaji tak layak. Ribuan sekolah di pelosok tak punya akses internet, bahkan ada yang tak punya toilet. Apakah ini wajah pendidikan yang kita banggakan?
Anggaran besar tanpa perencanaan strategis hanya akan jadi buih yang menguap. Pendidikan bukan soal pencitraan proyek-proyek mewah, tapi soal menyentuh langsung kebutuhan guru dan murid di ruang kelas.
Beban Berat di Pundak Guru, Tapi Tak Didengar
Guru adalah ujung tombak pendidikan. Tapi di Indonesia, mereka justru jadi pihak yang paling sering di pinggirkan. Beban administratif menumpuk, kewajiban mengisi laporan yang rumit, di tambah tekanan dari kepala sekolah hingga orang tua siswa, membuat banyak guru kehilangan fokus utama mereka: mengajar.
Lebih parah lagi, pelatihan guru seringkali bersifat formalitas, tak menyentuh kemampuan praktis mengajar di kelas. Banyak guru akhirnya menggunakan metode lama, tanpa inovasi, tanpa pendekatan personal pada siswa. Jika guru tak di perkuat, jangan harap murid bisa berkembang.
Anak-anak Butuh Pendidikan yang Nyata, Bukan Sekadar Ijazah
Setiap anak di negeri ini punya hak atas pendidikan berkualitas. Tapi sayangnya, pendidikan sering hanya jadi alat formal untuk mengejar ijazah, bukan wadah tumbuhnya karakter dan kemampuan. Banyak siswa naik kelas karena sistem yang terlalu longgar, bukan karena mereka layak.
Baca juga : Penjurusan Kembali di SMA: Luka Psikologis yang Tidak Terlihat
Akibatnya, kita melahirkan generasi yang pandai mengikuti ujian, tapi lemah berpikir kritis. Mereka hafal rumus, tapi tak paham cara menyelesaikan masalah. Mereka tahu teori, tapi bingung menerapkannya. Ini bukan kesalahan siswa—ini kegagalan sistem.
Anak-anak butuh guru yang menginspirasi, ruang kelas yang nyaman, akses teknologi, dan kurikulum yang menyentuh realita hidup mereka. Pendidikan bukan tentang seragam dan absensi, tapi tentang bagaimana anak bisa berpikir, berbuat, dan bermimpi besar.
Saatnya Pemerintah Benar-benar Turun Tangan
Pendidikan bukan sektor pelengkap. Ini harus jadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan nasional. Pemerintah tidak bisa terus menunda pembenahan dengan alasan birokrasi atau keterbatasan anggaran. Jika kita terus abai, maka ketimpangan pendidikan akan melebar, dan jurang sosial akan semakin dalam.
Presiden, menteri, pejabat daerah—semua harus melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang yang tidak bisa di tunda. Butuh keberanian politik untuk menata ulang sistem yang sudah usang. Butuh komitmen serius untuk memperkuat guru, memperbaiki kurikulum, dan memastikan setiap anak mendapat pendidikan yang adil dan layak.
Sekarang atau tidak sama sekali.