DPR Bahas Omnibus Law UU tentang Pendidikan

DPR Bahas Omnibus – Ketika rakyat sibuk memikirkan biaya sekolah yang makin menggila, DPR malah sibuk membahas Omnibus Law UU tentang Pendidikan. Ya, kamu nggak salah baca. Di tengah gonjang-ganjing sistem pendidikan yang sering bikin kepala mendidih, DPR justru berniat menyatukan berbagai aturan pendidikan ke dalam satu payung hukum besar. Katanya sih biar lebih efisien. Tapi, benarkah niatnya semulia itu?

Omnibus Law, yang sebelumnya bikin heboh karena menyentuh sektor tenaga kerja dan lingkungan, kini merambah dunia pendidikan. Dan tentu saja, publik di buat bertanya-tanya: ini mau benahi sistem pendidikan, atau malah bikin tambah ribet?


Apa Sih Maksud Omnibus Law di Dunia Pendidikan?

Omnibus Law bukan istilah keren yang muncul dari seminar kampus. Ini adalah metode legislasi yang menggabungkan banyak aturan menjadi satu undang-undang. Jadi, semua UU yang selama ini mengatur pendidikan — dari UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Pendidikan Tinggi, sampai UU Guru dan Dosen — akan di gabung, di revisi, dan di sulap dalam satu dokumen hukum.

Alasannya? Supaya tidak tumpang tindih. Tapi masalahnya, saat semuanya di satukan, muncul kekhawatiran baru: apakah semua aspek pendidikan bisa di akomodasi dengan adil? Atau malah ada pasal-pasal ‘siluman’ yang numpang lewat di tengah-tengah revisi besar ini?

Baca juga : Dua Kampus di Jawa Timur Sediakan Fasilitas untuk Sekolah Rakyat


Sorotan Publik: Pendidikan Jangan Dijadikan Proyek Politik

Beberapa isi rancangan awal yang bocor ke publik langsung bikin heboh. Ada dugaan bahwa otonomi pendidikan akan di persempit. Padahal, banyak perguruan tinggi dan institusi pendidikan daerah yang sudah mati-matian memperjuangkan independensi mereka selama bertahun-tahun.

Di sisi lain, masyarakat mulai resah: apakah dunia pendidikan akan makin di komersialisasi? Jangan-jangan, Omnibus Law ini malah membuka celah makin lebarnya jurang antara sekolah negeri dan swasta, antara kota dan desa, antara si kaya dan si miskin.

Bahkan beberapa pengamat menyebut, jangan sampai UU ini hanya menjadi cara halus untuk menyeragamkan sistem, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang berbeda-beda di tiap daerah. Pendidikan itu bukan pabrik. Anak-anak bukan produk. Lalu kenapa semuanya harus di standarkan?


Reaksi Guru dan Mahasiswa: Curiga dan Siaga

Para guru, dosen, hingga mahasiswa mulai menunjukkan sikap waspada. Banyak yang merasa tidak di libatkan dalam proses penyusunan draf. Padahal, merekalah ujung tombak pendidikan. Ironis, kan? Yang mengajar dan yang di ajar malah gak di ajak ngobrol.

Asosiasi guru mulai angkat suara. Mereka menuntut agar pemerintah transparan, jangan hanya melibatkan segelintir elit pendidikan yang duduk di atas menara gading. Mahasiswa pun sudah mulai menyiapkan suara perlawanan. Mereka tidak mau nasib pendidikan Indonesia di putuskan lewat rapat-rapat sunyi yang tidak melibatkan suara rakyat.


Pendidikan di Tangan Legislator: Harapan atau Ancaman?

Ketika DPR memegang kendali atas masa depan pendidikan lewat Omnibus Law, pertanyaan besar muncul: apakah mereka benar-benar paham tantangan yang di hadapi para guru di pedalaman, atau siswa yang harus pinjam HP tetangga demi ikut kelas online?

Pendidikan bukan soal angka dan grafik. Ia adalah soal masa depan, soal harapan jutaan anak. Dan ketika pembahasan Omnibus Law UU tentang Pendidikan di lakukan secara terburu-buru dan minim partisipasi publik, yang lahir bukan solusi—melainkan keresahan.

Saat ini, rakyat hanya bisa berharap sambil terus mengawasi: apakah ini akan menjadi langkah maju untuk pendidikan nasional, atau justru jebakan yang mengancam dunia pendidikan dengan jargon-jargon legal yang terdengar manis tapi punya racun di baliknya.