Cerita Cinta Laura Renovasi 10 SD dan 1 SMP di Bogor

Cerita Cinta Laura – Bukan hanya sekadar artis glamor yang wara-wiri di layar kaca. Di balik penampilan elegan dan aksen Inggrisnya yang khas, ada sosok perempuan yang bergerak diam-diam, membongkar realitas kelam dunia pendidikan. Ketika banyak selebriti sibuk memamerkan liburan mewah dan barang bermerek, Cinta justru memilih menancapkan jejak di tempat yang tak di lirik: sekolah-sekolah bobrok di pinggiran Bogor.

Ya, bukan isapan jempol. Cinta Laura turun langsung merenovasi 10 Sekolah Dasar dan 1 Sekolah Menengah Pertama. Bukan hanya mengecat ulang tembok usang atau mengganti bangku kayu lapuk, tapi mengubah wajah sekolah-sekolah itu menjadi tempat belajar yang pantas di sebut “layak”.

Sekolah yang Tak Pernah Masuk Radar

Cinta Laura tak memilih sekolah di kota besar, atau yang berada di pusat perhatian media. Ia justru memilih yang tersembunyi. Sekolah-sekolah yang bahkan tak punya papan nama jelas. Beberapa di antaranya nyaris ambruk, atap bocor, lantai tanah, dan tidak ada toilet layak.

Ketika menginjakkan kaki pertama kali ke salah satu SD di pelosok Bogor, Cinta tak menyangka bahwa di negara sebesar Indonesia, masih ada ruang kelas dengan meja reyot dan papan tulis yang hanya tinggal separuh. Anak-anak duduk di lantai, berdesakan, dan belajar dalam kondisi yang lebih mirip gudang di banding sekolah.

Di sinilah naluri kemanusiaannya bicara lantang. Cinta tidak ingin hanya menjadi “influencer digital”. Ia ingin menginfluensi secara nyata.

Baca juga : Program MBG Dilaksanakan di Sekolah di KEK Galang Batang

Renovasi Bukan Basa-Basi

Yang di lakukan Cinta bukan sekadar CSR gaya-gayaan atau proyek satu kali tampil. Renovasi yang di gagasnya mencakup perbaikan struktur bangunan, pengadaan fasilitas belajar, toilet bersih, ruang guru, bahkan lapangan sekolah. Semua di kerjakan bersama Yayasan Sejuta Cita dan komunitas lokal.

Proyek ini bukan pekerjaan semalam. Butuh berbulan-bulan, perizinan rumit, kerja sama dengan pemerintah daerah, dan pengawasan ketat. Tapi Cinta tidak gentar. Ia tidak datang hanya untuk sesi foto atau pidato simbolis. Ia datang, melihat langsung prosesnya, menyapa guru, berbicara dengan siswa, dan memastikan hasilnya bukan abal-abal.

Anak-anak yang Akhirnya Bisa Bermimpi

Perubahan ini tidak hanya fisik. Dampaknya menghantam psikologis anak-anak. Mereka yang dulunya datang ke sekolah dengan wajah lesu, sekarang terlihat antusias. Ada cahaya di mata mereka. Bukan karena kelasnya ber-AC, tapi karena mereka merasa di hargai.

Salah satu siswa kelas lima di SDN Cemplang menceritakan bahwa sekarang ia bisa belajar tanpa takut bangunan ambruk saat hujan deras. Anak-anak kini punya toilet bersih, punya buku baru, dan punya ruang perpustakaan kecil yang dulunya hanya mimpi.

Yang lebih penting, mereka kini bisa bermimpi lebih tinggi. Karena ketika ruang belajar jadi layak, kepercayaan diri mereka ikut tumbuh. Pendidikan bukan lagi sekadar kewajiban, tapi jadi harapan.

Cinta yang Tidak Gentar Dibilang Cari Panggung

Tentu saja, gerakan ini tidak luput dari cibiran. Beberapa menyebut Cinta Laura sedang cari panggung, ingin tampil seolah “pahlawan pendidikan”. Tapi ia tidak ambil pusing. Ia tahu, membantu orang lain tidak butuh validasi dari publik.

“Kalau orang bisa mengkritik saya karena membangun sekolah, biarlah. Tapi saya tetap akan bangun sekolah lainnya,” begitu kira-kira pernyataannya yang menampar balik kritik tanpa harus berteriak.

Mengguncang Standar Selebriti

Apa yang di lakukan Cinta Laura memukul standar selebriti tanah air. Ia menolak menjadi “public figure biasa”. Ia meredefinisi arti pengaruh. Baginya, pengaruh bukan sekadar jumlah follower atau viral di TikTok, tapi apa yang bisa ia ubah secara nyata di masyarakat.

Ia menunjukkan bahwa selebriti bisa—dan seharusnya—turun tangan dalam isu-isu penting, seperti pendidikan. Ia memilih untuk tidak hanya cantik di layar, tapi berguna di lapangan.

Dan kalau Cinta bisa mengubah wajah pendidikan di Bogor, lalu apa alasan selebriti lain untuk hanya sibuk endorse tanpa aksi nyata?

Tak Bisa Ditunda, Pemerintah Harus Prioritaskan Pendidikan

Tak Bisa Ditunda – Pendidikan di Indonesia bukan sekadar urusan membangun gedung atau menggaji guru. Ini soal masa depan bangsa. Tapi sayangnya, realita di lapangan sungguh menampar keras: ratusan siswa naik kelas tanpa bisa membaca, sekolah-sekolah kekurangan fasilitas, dan guru dibiarkan berjuang sendirian tanpa pelatihan yang layak.

Fenomena semacam ini bukan sekadar potret kegagalan institusi pendidikan, tapi juga cermin dari lemahnya komitmen negara terhadap salah satu pilar utama pembangunan manusia. Jika pendidikan tak segera di prioritaskan, kita sedang menyiapkan generasi yang tumbuh tanpa arah dan tanpa daya saing.

Kebijakan Setengah Hati: Anggaran Besar, Tapi Salah Sasaran

Pemerintah sering membanggakan alokasi dana pendidikan 20% dari APBN, tapi mari kita telaah lebih dalam: ke mana sebenarnya dana itu mengalir? Banyak anggaran justru habis untuk hal-hal administratif, pelatihan formalitas, dan proyek fisik yang tak berdampak langsung pada kualitas belajar siswa.

Sementara itu, masih banyak guru honorer yang hidup dengan gaji tak layak. Ribuan sekolah di pelosok tak punya akses internet, bahkan ada yang tak punya toilet. Apakah ini wajah pendidikan yang kita banggakan?

Anggaran besar tanpa perencanaan strategis hanya akan jadi buih yang menguap. Pendidikan bukan soal pencitraan proyek-proyek mewah, tapi soal menyentuh langsung kebutuhan guru dan murid di ruang kelas.

Beban Berat di Pundak Guru, Tapi Tak Didengar

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Tapi di Indonesia, mereka justru jadi pihak yang paling sering di pinggirkan. Beban administratif menumpuk, kewajiban mengisi laporan yang rumit, di tambah tekanan dari kepala sekolah hingga orang tua siswa, membuat banyak guru kehilangan fokus utama mereka: mengajar.

Lebih parah lagi, pelatihan guru seringkali bersifat formalitas, tak menyentuh kemampuan praktis mengajar di kelas. Banyak guru akhirnya menggunakan metode lama, tanpa inovasi, tanpa pendekatan personal pada siswa. Jika guru tak di perkuat, jangan harap murid bisa berkembang.

Anak-anak Butuh Pendidikan yang Nyata, Bukan Sekadar Ijazah

Setiap anak di negeri ini punya hak atas pendidikan berkualitas. Tapi sayangnya, pendidikan sering hanya jadi alat formal untuk mengejar ijazah, bukan wadah tumbuhnya karakter dan kemampuan. Banyak siswa naik kelas karena sistem yang terlalu longgar, bukan karena mereka layak.

Baca juga : Penjurusan Kembali di SMA: Luka Psikologis yang Tidak Terlihat

Akibatnya, kita melahirkan generasi yang pandai mengikuti ujian, tapi lemah berpikir kritis. Mereka hafal rumus, tapi tak paham cara menyelesaikan masalah. Mereka tahu teori, tapi bingung menerapkannya. Ini bukan kesalahan siswa—ini kegagalan sistem.

Anak-anak butuh guru yang menginspirasi, ruang kelas yang nyaman, akses teknologi, dan kurikulum yang menyentuh realita hidup mereka. Pendidikan bukan tentang seragam dan absensi, tapi tentang bagaimana anak bisa berpikir, berbuat, dan bermimpi besar.

Saatnya Pemerintah Benar-benar Turun Tangan

Pendidikan bukan sektor pelengkap. Ini harus jadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan nasional. Pemerintah tidak bisa terus menunda pembenahan dengan alasan birokrasi atau keterbatasan anggaran. Jika kita terus abai, maka ketimpangan pendidikan akan melebar, dan jurang sosial akan semakin dalam.

Presiden, menteri, pejabat daerah—semua harus melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang yang tidak bisa di tunda. Butuh keberanian politik untuk menata ulang sistem yang sudah usang. Butuh komitmen serius untuk memperkuat guru, memperbaiki kurikulum, dan memastikan setiap anak mendapat pendidikan yang adil dan layak.

Sekarang atau tidak sama sekali.

DPR Bahas Omnibus Law UU tentang Pendidikan

DPR Bahas Omnibus – Ketika rakyat sibuk memikirkan biaya sekolah yang makin menggila, DPR malah sibuk membahas Omnibus Law UU tentang Pendidikan. Ya, kamu nggak salah baca. Di tengah gonjang-ganjing sistem pendidikan yang sering bikin kepala mendidih, DPR justru berniat menyatukan berbagai aturan pendidikan ke dalam satu payung hukum besar. Katanya sih biar lebih efisien. Tapi, benarkah niatnya semulia itu?

Omnibus Law, yang sebelumnya bikin heboh karena menyentuh sektor tenaga kerja dan lingkungan, kini merambah dunia pendidikan. Dan tentu saja, publik di buat bertanya-tanya: ini mau benahi sistem pendidikan, atau malah bikin tambah ribet?


Apa Sih Maksud Omnibus Law di Dunia Pendidikan?

Omnibus Law bukan istilah keren yang muncul dari seminar kampus. Ini adalah metode legislasi yang menggabungkan banyak aturan menjadi satu undang-undang. Jadi, semua UU yang selama ini mengatur pendidikan — dari UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Pendidikan Tinggi, sampai UU Guru dan Dosen — akan di gabung, di revisi, dan di sulap dalam satu dokumen hukum.

Alasannya? Supaya tidak tumpang tindih. Tapi masalahnya, saat semuanya di satukan, muncul kekhawatiran baru: apakah semua aspek pendidikan bisa di akomodasi dengan adil? Atau malah ada pasal-pasal ‘siluman’ yang numpang lewat di tengah-tengah revisi besar ini?

Baca juga : Dua Kampus di Jawa Timur Sediakan Fasilitas untuk Sekolah Rakyat


Sorotan Publik: Pendidikan Jangan Dijadikan Proyek Politik

Beberapa isi rancangan awal yang bocor ke publik langsung bikin heboh. Ada dugaan bahwa otonomi pendidikan akan di persempit. Padahal, banyak perguruan tinggi dan institusi pendidikan daerah yang sudah mati-matian memperjuangkan independensi mereka selama bertahun-tahun.

Di sisi lain, masyarakat mulai resah: apakah dunia pendidikan akan makin di komersialisasi? Jangan-jangan, Omnibus Law ini malah membuka celah makin lebarnya jurang antara sekolah negeri dan swasta, antara kota dan desa, antara si kaya dan si miskin.

Bahkan beberapa pengamat menyebut, jangan sampai UU ini hanya menjadi cara halus untuk menyeragamkan sistem, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang berbeda-beda di tiap daerah. Pendidikan itu bukan pabrik. Anak-anak bukan produk. Lalu kenapa semuanya harus di standarkan?


Reaksi Guru dan Mahasiswa: Curiga dan Siaga

Para guru, dosen, hingga mahasiswa mulai menunjukkan sikap waspada. Banyak yang merasa tidak di libatkan dalam proses penyusunan draf. Padahal, merekalah ujung tombak pendidikan. Ironis, kan? Yang mengajar dan yang di ajar malah gak di ajak ngobrol.

Asosiasi guru mulai angkat suara. Mereka menuntut agar pemerintah transparan, jangan hanya melibatkan segelintir elit pendidikan yang duduk di atas menara gading. Mahasiswa pun sudah mulai menyiapkan suara perlawanan. Mereka tidak mau nasib pendidikan Indonesia di putuskan lewat rapat-rapat sunyi yang tidak melibatkan suara rakyat.


Pendidikan di Tangan Legislator: Harapan atau Ancaman?

Ketika DPR memegang kendali atas masa depan pendidikan lewat Omnibus Law, pertanyaan besar muncul: apakah mereka benar-benar paham tantangan yang di hadapi para guru di pedalaman, atau siswa yang harus pinjam HP tetangga demi ikut kelas online?

Pendidikan bukan soal angka dan grafik. Ia adalah soal masa depan, soal harapan jutaan anak. Dan ketika pembahasan Omnibus Law UU tentang Pendidikan di lakukan secara terburu-buru dan minim partisipasi publik, yang lahir bukan solusi—melainkan keresahan.

Saat ini, rakyat hanya bisa berharap sambil terus mengawasi: apakah ini akan menjadi langkah maju untuk pendidikan nasional, atau justru jebakan yang mengancam dunia pendidikan dengan jargon-jargon legal yang terdengar manis tapi punya racun di baliknya.