Penjurusan Kembali di SMA – Di balik senyum palsu para siswa SMA, tersimpan tekanan mental luar biasa akibat kebijakan penjurusan ulang. Bayangkan saja, seorang siswa yang sejak awal duduk di bangku kelas X sudah menetapkan hati untuk masuk jurusan IPA, harus menerima kenyataan pahit: ia di pindahkan ke IPS hanya karena nilai matematikanya turun beberapa poin. Keputusan ini tidak hanya mengubah jalur akademik mereka, tapi juga menghancurkan semangat dan kepercayaan diri yang selama ini di bangun dengan susah payah.
Penjurusan ulang bukan sekadar administrasi sekolah. Ini adalah keputusan yang menyerempet sisi emosional dan identitas diri siswa. Ketika seorang remaja yang sedang berada di fase pencarian jati diri di paksa menyesuaikan arah hidup karena sebuah angka di atas kertas, luka batin mulai terbentuk—perlahan tapi pasti.
Ekspektasi Guru vs Realitas Siswa
Sering kali, penjurusan ulang dilakukan dengan dalih untuk “menempatkan siswa di jalur yang tepat.” Tapi, siapa yang menentukan jalur yang tepat itu? Guru? Kurikulum? Sistem pendidikan yang kaku? Sementara siswa di perlakukan seperti pion catur yang bisa di pindahkan sesuka hati, tanpa mempertimbangkan suara hati dan mimpi mereka sendiri https://outbackgovie.com/.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap dampaknya. Siswa yang di paksa pindah jurusan banyak yang mengalami gejala psikosomatis: sakit kepala, sulit tidur, cemas berlebihan, bahkan depresi ringan. Mereka merasa gagal. Merasa tidak cukup baik. Merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya mendukung mereka.
Kebebasan yang Dirampas, Masa Depan yang Dipertaruhkan
Dalam sistem pendidikan yang ideal, siswa seharusnya di beri ruang untuk tumbuh, mengeksplorasi minat, dan memilih jalan hidupnya sendiri. Namun, penjurusan ulang justru merampas hak itu. Bayangkan seseorang yang bermimpi menjadi dokter harus rela mengubur mimpinya karena di paksa masuk IPS. Apakah sistem pendidikan kita benar-benar peduli pada potensi anak, atau hanya fokus pada angka dan statistik?
Realita ini menciptakan generasi yang tidak hanya bingung arah, tapi juga takut bermimpi. Karena mereka tahu, mimpi itu bisa di ambil kapan saja oleh sistem yang tidak memberi mereka ruang untuk bersuara.
Baca juga artikel kami yang lainnya: DPR Bahas Omnibus Law UU tentang Pendidikan
Saatnya Menggugat Sistem
Sudah saatnya kita buka mata dan suara: penjurusan ulang bukan solusi, tapi masalah. Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membelenggu. Jika terus di biarkan, trauma yang di timbulkan tidak akan hilang begitu saja. Luka psikologis ini akan terbawa hingga masa dewasa, menciptakan generasi yang kehilangan rasa percaya pada diri sendiri. Ini bukan hanya soal kebijakan sekolah. Ini soal masa depan anak-anak kita. Dan kita tidak bisa lagi diam.